Kamis, 07 Mei 2009

KASUS PENGGUSURAN DI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kasus penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Ibukota Jakarta, seperti di Kelurahan Tanjung Duren Selatan Jakarta Barat dan di Kali Adem Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara menimbulkan korban dan kerugian bagi masyarakat yang berdomisili dan menetap di lokasi-lokasi penggusuran tersebut..
Masalah penggusuran tersebut menimbulkan konflik sosial antara masyarakat penetap di satu sisi dengan aparat pemerintahan setempat di sisi yang lain, serta memerlukan suatu pengkajian tentang sebab dan akibat dari penggusuran tersebut.
Sosiologi hukum sebagai salah satu ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan timbal balik gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat dari segi hukum, dapat dijadikan suatu subyek untuk mengkaji masalah penggusuran tersebut.

2. IDENTIFIKASI MASALAH

Untuk mengkaji masalah penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta maka perlu dilakukan identifikasi permasalahan yang ada, yaitu “Bagaimana mengkaji kasus penggusuran di beberapa daerah di Jakarta dengan tinjauan sosiologi hukum ? “ Dari pokok permasalahan tersebut juga perlu dicari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan :
a. Apa yang menyebabkan pemerintah melakukan penggusuran?
b. Mengapa masyarakat korban penggusuran masih memiliki keinginan yang kuat untuk tinggal di lokasi tersebut dan melakukan perlawanan?
c. Apakah ada kepentingan-kepentingan pemerintah di lokasi penggusuran tersebut?

II. PEMBAHASAN

3. KASUS PENGGUSURAN DI BEBERAPA LOKASI DI JAKARTA

Kasus penggusuran di beberapa lokasi di DKI Jakarta memang menimbulkan suatu permasalahan sosial baru bagi Pemda setempat dan masyarakat korban penggusuran tersebut. Selain menimbulkan kerugian materiil bagi warga yang digusur, juga menimbulkan korban luka-luka akibat perlawanan yang dilakukan oleh para warga yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut. Di Kampung Sawah Tanjung Duren sedikitnya 9 (sembilan) orang luka-luka dalam peristiwa penggusuran 520 bangunan di lokasi tersebut . Lokasi tanah tersebut memang sarat dengan masalah dan banyak pihak yang menyalahgunakannya. Demikian juga kasus tanah Perum Perumnas di Cengakareng Timur juga banyak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Para warga yang terkena penggusuran juga mencoba melakukan perlawanan, dengan membakar ban-ban bekas untuk menghalangi aparat Tramtib ataupun Polisi yang akan melakukan penggusuran, sehingga terjadilah kontak fisik yang mengakibatkan adanya korban yang menderita luka-luka.
Sedangkan menurut keterangan dari Pemda setempat bahwa para warga yang rumahnya digusur tersebut sudah mendapatkan ganti rugi yang layak dan mereka tidak berhak untuk tinggal di lokasi tanah yang digusur tersebut atau dengan kata lain para warga menempati lokasi tanah tersebut secara liar, karena mereka tidak memiliki surat-surat kepemilikan tanah tersebut dan ada pemilik tanah yang berhak, seperti Perum Perumnas untuk tanah yang berada di Cengkareng Timur.
Namun yang menjadi pertanyaan adala mengapa pemerintah baru sekarang dilakukan penggusuran, mengapa bukan pada saat para warga baru pertama kali menempati lokasi tanah tersebut dilakukan pelarangan sehingga mereka tidak sampai menempati lahan tersebut.

4. TEORI-TEORI

Untuk menganalisa permasalahan penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta, ada beberapa teori yang dapat digunakan, yaitu Teori Anomie milik R.K. Merton dan Teori Lower Class Culture (Teori Budaya Kelas Bawah) milik Walter B. Miller.
Dalam Teori Anomie milik R.K.Merton, ada 5 (lima) premis, yaitu :
a. Konformiti, yaitu masyarakat masih menerima nilai-nilai lama karena ada tekanan sosial.
b. Inovasi, yaitu masyarakat masih mengacu pada tujuan hidup yang ingin dicapai tetapi mengubah sarana untuk pencapaiannya.
c. Ritualisme, yaitu masyarakat menyesuaikan diri dengan cara baru untuk mencapai kesuksesan namun norma-norma lama tidak ditinggalkan.
d. Retreatism (Penarikan diri), yaitu masyarakat lepas pada kebudayaan dan melampiaskan diri pada ilusi (mabuk, narkoba).
e. Rebellion (Pemberontakan), yaitu masyarakat ingin mengubah sistem tetapi tidak punya kemampuan.
Sedangkan dalam Teori Budaya Kelas Bawah, terdapat 6 (enam) premis, yaitu :
a. Trouble (kesulitan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh gemar mencari gara-gara atau keributan.
b. Toughness (kenekatan/ketangguhan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh sifatnya nekat (umumnya ditandai dengan simbol-simbol pada badannya, misalnya tato).
c. Smartness (kecerdikan/kelicikan), yaitu penghuni daerah kumuh berusaha untuk menipu dan tidak tertipu.
d. Excitement (kegembiraan yang berlebihan), yaitu penghuni daerah kumuh sangat konsumtif (mabuk-mabukan, prostitusi, dsb).
e. Fate (nasib), penghuni daerah kumuh merasa sudah ditakdirkan seperti itu (bergelut dengan kekerasan/kejahatan), tidak ada usaha untuk merubah.
f. Autonomy (kemandirian), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh cenderung tidak mau diganggu dan mengganggu orang lain.

5. PENGKAJIAN PERMASALAHAN DENGAN TEORI-TEORI SOSIOLOGI

Untuk mengkaji permasalahan penggusuran tersebut, maka perlu dikaji melalui teori-teori yang telah disebutkan di atas, sehingga dapat diperoleh gambaran mengapa masyrakat tersebut mendiami lokasi tanah tersebut yang sebenarnya bukan hak mereka, sampai dengan terjadinya penggusuran, serta perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
R.K. Merton dalam teori Anomie menyebutkan dalam satu premisnya, yaitu Inovasi, dimana masyarakat ingin mencapai tujuan hidupnya dengan merubah cara atau sarana pencapaiannya. Masyarakat yang tinggal di lokasi tanah tersebut kebanyakan merupakan golongan menengah ke bawah, yang sulit untuk mencari tempat tinggal. Adanya lokasi tanah kosong dan didukung adanya oknum yang memperjualbelikan tanah tersebut secara illegal dengan harga murah, membuat masyarakat golongan menengah ke bawah tersebut tertarik, karena adanya dorongan keinginan memiliki tempat tinggal tersebut, sehingga mereka membeli dan menempati lahan tersebut, hal ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga warga yang tinggal di lokasi tanah tersebut menjadi bertambah banyak.
Tidak adanya larangan ditambah masuknya fasilitas umum seperti listrik dan telepon, membuat para warga tersebut semakin betah dan bahkan menurut beberapa informasi para warga tersebut juga dikenai pungutan pajak bumi dan bangunan, sehingga akhirnya timbul perasaan bahwa mereka telah memiliki hak untuk tinggal dan menempati tanah tersebut. Hal ini disebutkan R.K Merton sebagai Ritualism, dimana masyarakat yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mereka tempati dan menganggap keberadaan mereka di lokasi tersebut sah.
Pada saat terjadi penggusuran para warga yang tinggal di lokasi tersebut mencoba melakukan perlawanan misalnya dengan cara membakar ban untuk menghalangi para petugas yang akan melakukan penggusuran dan cara kekerasan lainnya. Hal ini disebut oleh R.K. Merton sebagai Rebellion atau perlawanan, masyarakat yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut mencoba menghalangi kebijaksanaan Pemda setempat yang mereka anggap tidak adil dan menindas hak-hak mereka.
Apabila kita kaji melalui teori Lower Class Culture milik Walter B. Miller ada beberapa premis yang menggambarkan kondisi para warga yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut, yaitu yang pertama adalah Toughness atau kenekatan, dimana masyarakat di lokasi tersebut merasa hak-hak mereka ditindas nekat melakukan perlawanan terhadap para petugas yang menggusur tempat tinggal mereka.
Yang kedua para warga merasa sudah merupakan nasib mereka tinggal di daerah yang terkena penggusuran tersebut (fate), mereka merasa tidak ada tempat lain yang dapat mereka gunakan sebagai tempat tinggal dan mereka tidak pernah berusaha untuk mencari tempat tinggal lain, karena sudah kerasan dan cocok tinggal di lokasi tersebut.
Yang terakhir, para warga tersebut memiliki sifat kemandirian, tidak mau diganggu oleh pihak lain, sehingga ketika aparat Pemda setempat datang dengan maksud melakukan penggusuran warga yang tinggal di lokasi tersebut merasa terganggu, sehingga timbullah perlawanan.
Selain itu Pemda setempat juga memiliki kepentingan-kepentingan terhadap tanah tersebut, misalnya di Cengkareng Timur, tanah yang menurut keterangan Pemda setempat merupakan milik Perum Perumnas akan dibangun sebagai lokasi perumahan oleh Perum Perumnas tersebut, sehingga dengan alasan tersebut dan tidak adanya surat kepemilikan tanah warga setempat, serta sudah adanya peringatan Pemda setempat agar para warga segera meninggalkan lokasi tersebut, membuat Pemda melakukan penggusuran.

III. KESIMPULAN

Dari pengkajian kasus penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta dengan menggunakan beberapa premis yang terdapat dalam teori Anomie dan teori Low Class Culture dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Pemerintah daerah setempat melakukan penggusuran karena menganggap bahwa warga masyrakat yang tinggal di lokasi-lokasi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah tersebut.
2. Warga masyarakat yang tinggal di lokasi penggusuran dan menjadi korban penggusuran enggan untuk pindah dari lokasi tersebut dan melakukan penggusuran disebabkan karena mereka telah tinggal cukup lama di lokasi tersebut; merasa bahwa mereka ditakdirkan untuk tinggal di lokasi tersebut; dan merasa bahwa tanah yang mereka tempati sudah menjadi hak milik mereka.
3. Para warga tersebut melakukan perlawanan kepada para petugas yang melakukan penggusuran tersebut karena merasa kebijaksanaan Pemda setempat dalam mengadakan penggusuran telah menindas hak-hak mereka, sehingga menyebabkan mereka nekat untuk melakukan perlawanan yang menyebabkan jatuhnya korban luka-luka.
4. Pemda setempat melakukan penggusuran di lokasi tersebut karena menganggap para warga yang menempati lokasi tersebut secara tidak sah, dan pada lokasi tersebut akan dibangun sarana-sarana seperti perumahan.

Dari kesimpulan di atas dapat diambil suatu pelajaran bahwa keberadaan warga di lokasi penggusuran tersebut secara tidak sah, namun karena mereka tinggal di tempat itu telah lama dan bertahun-tahun, serta tidak pernah ada pihak yang melakukan larangan menyebabkan mereka merasa berhak untuk tinggal di lokasi tersebut, sehingga pada saat ada peringatan dari Pemda setempat untuk segera meninggalkan lokasi tersebut dan dilakukan penggusuran mereka tetap tidak bersedia untuk meninggalkan lokasi tersebut dan melakukan perlawanan.
Oleh karena itu agar tidak terjadi hal seperti ini terulang kembali, hendaknya Pemda setempat atau instansi terkait perlu melakukan evaluasi bahwa keberadaan suatu kelompok masyarakat di lokasi tertentu secara tidak sah perlu diantisipasi dengan melakukan larangan terlebih dahulu, jangan larangan tersebut dilakukan setelah kelompok tersebut sudah menetap selama bertahun-tahun. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik social yang lebih besar lagi apalagi pada saat sekarang dimana Indonesia dalam kondisi perekonomian yang sulit dan masyarakat mudah diombang-ambing oleh isu-isu yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.