Rabu, 18 Februari 2009

HUKUM DAN KEADILAN : KORUPSI DALAM PENYIDIKAN POLISI

PENDAHULUAN

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menerangkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri[1], yang menandakan bahwa Polri tidak lagi memiliki peran pertahanan dan bukan lagi unsur ABRI/militer, serta menandakan kemandirian Polri menuju profesionalisme Polri.

Dalam fungsinya sebagai aparat penegak hukum, Polri atau Polisi berada dalam lingkaran Criminal Justice System (CJS) bersama dengan Jaksa, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Definisi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah “secara konsepsional, maka inti dan arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).”[2]

Menurut Barda Nawawi Arief dalam penegakan hukum pidana harus juga memperhatikan sekurang-kurangnya 4 (empat) aspek dari perlindungan masyarakat, yaitu:

1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan.

2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.

4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan dapat mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.[3]

Kualitas penegakan hukum yang dilakukan terhadap suatu tindak pidana tidak dapat digeneralisir, meskipun dilakukan dengan pentahapan dan metode yang sama. Menurut Soekanto, masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[4]

Setiap jenis profesi dalam penegakan hukum, utamanya Polisi, umumnya rentan terhadap korupsi. Untuk memahami kerentanan itu, kita perlu mengetahui problem besar apa yang dihadapi polisi setiap harinya dalam bekerja.

Menurut pernyataan yang dikutip diatas, setidaknya masalah besar tersebut adalah berkenaan dengan bagaimana polisi menggunakan hukum. Sungguh menarik, bahwa problemnya tugas sehari-hari bukan bagaimana menegakkan hukum, melainkan tentang menggunakan hukum. Batas antara menggunakan hukum dan menegakkan hukum sangat tipis. Karena tipisnya, dari aspek luar perbuatan nyaris tak dapat dibedakan, apakah polisi benar-benar hendak menegakkan hukum atau sekedar berkeinginan menggunakan hukum yntuk kepentinganpribadi. Penggunaan hukum dimungkinkan karena polisi dalam tugasnya dihadapkan pada berbagai pilihan tindakan untuk mengatasi keadaan yang umumnya bersifat serta merta. Kekuasaan menggunakan hukum semacam ini tertampung dalam kekuasaan diskresi, yaitu sesuatu jenis kekuasaan penggunaan kreativitas individual untuk memecahkan persoalan tugas yang dihadapi. Diseputar wewenang diskresi polisi inilah korupsi polisi biasanya marak.

Kewenangan melakukan diskresi diatur dalam pasal 18 UU Polri yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum, pejabat Polsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Untuk melakukan diskresi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang petugas kepolisian, yaitu:

1. Tindakan harus benar-benar harus diperlukan atau asa keperluan.

2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.

3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran, yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan.

4. Asas keseimbangan.[5]

Didalam kekuasaan dikresi inilah polisi diberi kebebasan menurut pertimbangannya, apakah Ia akan memeriksa seseorang, menahan, atau membebaskannya berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah diinterpretasikannya. Berperannya faktor diskresi inilah yang menyebabkan orang mempunyai pengalaman yang berbeda-beda ketika berurusan dengan kepolisian. Ada pula yang merasa diperlakukan dengan lembut, sementara ada pula yang memperoleh perlakuan yang kurang menyenangkan. Hal ini bisa timbul karena didalam kekuasaan diskresi pengaruh individual memang menonjol. Memang, adanya kekuasaan diskresi itu menyebabkan sentuhan-sentuhan pribadi dalam pelaksanaan tugas kepolisian sulit dielakkan. Keadaan ini tentunya relative rawan terhadap maraknya korupsi.

Berangkat dari batas yang tipis antara diskresi dan diskriminasi itu, maka untuk mengetahui pola-pola korupsi ditubuh kepolisian, yang pertama-tama perlu dipelajari ialah seberapa luas rentang diskersi yang diberikan undang-undang kepada masing-masing kedudukan. Seperti diketahui, semakin tinggi jabatan, apalagi bila kedudukan itu penting, bertambah tinggi pula wewenang diskresinya. Sebaliknya, semakin rendah struktur jabatan, kian mengecil pula kekuasaan diskresi pejabatnya. Pola korupsi mengikuti rentang diskresi ini. Suatu contoh Polisi Lalu Lintas yang berada dilapangan. Mereka memiliki kewenangan untuk memberi sekedar peringatan bagi pengguna jalan yang melanggar aturan lalu lintas, Tetapi ia berwenang pula ‘menilangnya’ sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika mereka bersedia korupsi, maka korupsinya tak jauh dari diskresi ini, yakni memberi peringatan kemudian menerima sedikit uang dan lantas mempersilahkan pelanggar jalan tersebut berlalu.

Lain halnya dengan Kepala Satuan Lalu lintas yang jangkauan diskresinya sudah meningkat pada perizinan. Apabila ia hendak korup, ruangnya cukup luas, dari mulai pelaksanaan korupsi berkaitan dengan proses perijinan yang menjadi wewenangnya, sampai dengan penggunaan anggotanya di lapangan untuk melakukan pungutan-pungutan berkaitan dengan tugas dan wewenangnya.

KORUPSI DALAM PROSES PENYIDIKAN POLRI

Sebagaimana dikemukakan bahwa kekuasaan diskresi dapat mendorong pelaksanaan tugas tercampuri warna kepribadian individu polisi. Hal ini berarti pengaruh pribadi polisi atas jalannya penegakan hukum pada tingkat kepolisian sangat kuat. Akibatnya manakala terjadi korupsi pola-polanya tidak selalu persis sama. Misalnya apabila individu polisi memandang kekuasaan yang disandangya sebagai komoditas yang sewaktu-waktu dapat dipertukarkan dengan sejumlah material tertentu, maka korupsi yang dilakukan akan terjadi lebih terang-terangan daripada sembunyi-sembunyi, seperti berani langsung meminta sejumlah uang kepada pihak-pihak yang tengah membutuhkan jasanya.

Tingkat komitmen individu polisi terhadap moralitas, mempengaruhi pola-pola korupsi ditubuh kepolisian. Semakin kuat integritas moral petugas kepolisian, kian bersih ia melaksanakan tugasnya. Kalaupun ada kehendak memanfaatkan jabatan sesuai dengan diskresinya untuk memperoleh keuntungan secara pribadi, umumnya karena didesak oleh pihak-pihak dalam masyrakat yang tengah berurusan dengan jabatannya. Pejabat polisi semacam ini biasanya baru bersedia menerima sesuatu pemberian, apabila dinilai pemberian itu tidak melanggar terlalu jauh sumpah jabatan.

Korupsi ditubuh kepolisian tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat. Mereka yang tersangkut perkara pidana yang tengah ditangani oleh polisi misalnya, umumnya akan berusaha sekuat tenaga lepas dari penyidikan. Mereka dengan segala cara akan melakukan berbagai pendekatan kepada petugas dengan bermacam iming-iming. Pelapor untuk perkara yang sama, juga akan gencar melakukan pendekatan, agar penyidikan atas tersangka tetap dilanjutkan. Pada konteks ini ‘jasa’ kepolisian diperebutkan. Sesuai dengan hukum pasar, kian diperebutkan semakin mahal.

Biasanya yang diperebutkan untuk didekati adalah polisi yang memiliki tingkat diskresi yang lebih tinggi, yaitu mereka yang jabatannya mempunyai pengaruh langsung terhadap jalannya perkara atau mereka yang berwenang sebagai pengambil keputusan dalam struktur dimana tindak pidana tersebut diproses. Besarnya struktur memungkinkan pejabat kepolisian yang didekati tersebut tidak menerima secara langsung pemberian. Biasanya sudah ada anak buah yang dipercaya untuk mengorganisir pemberian itu. Hal ini berbeda dengan petugas kepolisian pada tingkat bawah yang menerima pemberian secara man-to man.

Sehubungan dengan partisipasi masyarakat dalam membantu korupsi ditubuh kepolisian ini ada dua; pada tingkat jabatan tinggi cenderung pemberi yang datang,sedang ditingkat lapangan condong polisi yang menggali agar muncul pemberian.

Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana , nuansa korupsi juga sangat kental. Hal ini dapat digambarkan melalui contoh-contoh korupsi yang muncul dalam tahapan-tahapan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi, yaitu sebagai berikut:

1. Penerimaan Laporan Polisi

Pada penerimaan Laporan Polisi sudah terbuka kemungkinan adanya oknum polisi yang berani meminta sejumlah uang kepada pelapor dengan alasan kertas tidak ada, pita habis dan alasan lainnya atau bahkan tanpa alasan sedikitpun. Bila hal ini tidak diberikan ada harapan bahwa Laporan Polisi itu baru selesai keesokan harinya, namun bila diberikan, maka dalam 3-5 jam laporan tersebut sudah selesai, bahkan bagi tindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan matinya orang atau perampokan suatu rumah yang memerlukan pemeriksaan tempat kejadian perkara inipun dapat dijadikan obyek.

2. Penyelidikan

Pada tahap penyelidikan juga kadang kala pelapor dimintai uang dengan alasan dana untuk penyelidikan sangat kecil. Termasuk alasan melakukan penyelidikan ke luar kota, dan memerlukan biaya transportasi yang cukup besar, misalnya memerlukan pesawat dengan alasan untuk kecepatan waktu.

3. Pemanggilan

Pada saat pemanggilan juga berpotensi ada oknum polisi yang meminta uang kepada pihak yang dipanggil dengan disertai ancaman halus; apabila tidak mau datang akan ditangkap. Unsur ketakutan pihak yang dipanggil akan dimanfaatkan untuk memperoleh uang.

4. Penangkapan

Pada tahap penangkapan seringkali terjadi negosiasi untuk mendapatkan sejumlah uang antara petugas dengan tersangka. Bila terjadi persetujuan dalam negosiasi tersebut, tersangka dilepaskan dan tersangka harus dianggap tidak pernah ketemu. Tersangka diperintahkan untuk pergi jauh. Tetapi, bila dalam tempo dua atau tiga hari tertangkap kembali, persetujuan pertama dianggap batal, demikian seterusnya, sampai petugas benar-benar menjalankan tugas menangkapnya.

5. Penahanan

Pada saat sebelum dilakukan penahanan biasanya terjadi kemungkinan dilakukan perundingan untuk mendapatkan sejumlah uang. Jika uang dimaksud sulit didapat, segera dikeluarkan surat perintah penahanan agar tersangka segera dimasukkan dalam sel tahanan. Tetapi pada saat itu juga terjadi negosiasi kembali untuk mendapatkan sejumlah uang agar tersangka tidak dimasukkan ke dalam sel tahanan, melainkan tersangka tersebut cukup ditempatkan di salah satu ruangan dengan dijaga oleh anggota. Apabila uang yang mengalir dari tersangka cukup banya. Kondisi itu tidak akan berlangsung lama. Dengan bantuan para pemeriksa yang telah menerima sejumlah uang, pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan dengan secepatnya, dan kemudian diajukan permohonan penangguhan penahanan kepada pimpinan. Agar permohonan ini diloloskan, maka perlu juga dilampirkan sejumlah uang didalamnya, kecuali ada perintah dari pimpinan yang menjadi atasan penyidik. Biasanya walaupun ada perintah dari pimpinan atau atasan penyidik agar penahanan tersangka ditangguhkan, tetap saja tersangka mengeluarkan sejumlah uang, walaupun jumlahnya tak lagi besar. Setelah tahap penahanan itu, jika penyidikan dilanjutkan, masih mungkin dilakukan beberapa tahap seperti; penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, penyerahan tersangka,dan barang bukti maupun penghentian penyidikan. Pada semua tahapan ini dimungkinkan oknum polisi memperoleh sejumlah uang secara tidak sah, dan yang terbesar adalah pada apa yang disebutkan terakhir. Penghentian penyidikan merupakan obyek terbesar, karena itu umumnya tersangka rela membayarnya dengan harga tinggi.

Apabila dicermati dari contoh-contoh korupsi yang bisa terjadi dalam tahapan-tahapan penyidikan, maka yang menjadi inti permasalahannya adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam proses penyidikan merupakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh Polisi. Penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang sebagai penyidik tersebut terjadi karena selain beberapa faktor di atas juga disebabkan sangat minimnya anggaran yang disiapkan negara untuk proses penyidikan. Untuk penyidikan kasus yang sifatnya berat negara hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 14 juta, sedangkan apabila dibandingkan dengan kasusnya sendiri, dana tersebut jelas-jelas tidak mencukupi. Sebagai contoh untuk melakukan penindakan terhadap kasus pembalakan liar, Polisi memerlukan biaya untuk mendatangi tempat kejadian perkara yang berada jauh dalam hutan, memerlukan biaya transportasi untuk mengangkut personel yang tidak sedikit, sampai dengan biaya untuk pengamanan barang bukti, yang pasti tidak cukup dibiayai dengan anggaran yang disebutkan di atas tadi.

Selain itu, biaya yang diberikan tersebut tidak diberikan untuk seluruh perkara yang dilakukan penyidikan, sehingga Polisi harus memilih perkara mana yang perlu dilanjutkan sampai dengan pengadilan dan perkara mana yang cukup diselesaikan sampai tingkat penyidikan saja. Bahkan ada beberapa perkara yang digelapkan atau tidak dilaporkan kepada atasan penyidik, yang sering disebut sebagai “dark number”. Kondisi seperti ini menyebabkan Polisi melakukan penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan, yang tujuannya selain untuk menutupi biaya operasional penyidikan, juga untuk memperkaya diri anggota Polisi itu sendiri.

Korupsi di tubuh kepolisian umumnya kurang memiliki unsur merugikan keuangan Negara yang bersifat langsung. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri biasanya hanya merugikan secara material anggota masyarakat secara individual, kecuali dalam hal kejahatan terorganisir tertentu, seperti dalam penanganan perkara yang memang kuat unsur korupsinya.

Tindak pidana korupsi di kepolisian bersifat ‘ke luar’ daripada ‘ke dalam’. Hal ini terbukti nyaris tak banyak terdengar adanya penggelapan dana anggaran atau penyimpangan dana budjeter kepolisian, karena memang anggaran yang ada saja belum mencukupi untuk membiayai kegiatan operasional kepolisian secara keseluruhan. Pola korupsi ini, tentu saja sulit dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang lebih kuat bertumpu pada unsur merugikan keuangan negara.

PENUTUP

Sebenarnya sulit merumuskan pola-pola korupsi yang umum terjadi ditubuh kepolisian, apalagi jika diingat kuatnya sentuhan unsur pribadi dalam pelaksanaan tugas kepolisian karena luasnya ruang diskresi. Faktor Individu ini mengakibatkan pola korupsi relatif berwarna. Yang pertama bertindak dan tidaknya oknum polisi tergantung pada bayaran langsung yang diterimanya dari pihak-pihak yang membutuhkan jasa polisi. Pada jenis korupsi ini, oknum polisi secara sadar memperlakukan kekuasaan yang dipegangnya sebagai komoditas. Pola korupsi yang kedua adalah korupsi oknum pejabat polisi dengan cara menerima setoran dari anak buah yang melakukan korupsi. Korupsi ini juga dapat disebut korupsi yang sudah terstruktur, artinya tidak dapat terwujud manakala tidak melalui struktur resmi yang ada. Pola korupsi yang terakhir adalah korupsi yang dilakukan dimana seluruh korps atau kesatuan secara sadar dan bersama-sama terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi untuk menguntungkan kesatuan dan pribadi yang ada didalamnya.

Dalam mencermati pola korupsi di kepolisian perhatian hendaknya tidak difokuskan pada bagaimana polisi menegakkan hukum, melainkan pada bagaimana polisi menggunakan hukum. Sebab pada yang terakhir inilah terjadinya korupsi itu dimungkinkan, karena hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan korupsi. Hukum tidak digunakan sebagai alat untuk mencari keadilan, namun hukum digunakan sebagai alat untuk ‘mencari uang’ dalam rangka memperkaya diri sendiri. Apabila hukum dipergunakan oleh polisi secara semestinya, patut dipercaya korupsi di kepolisian apapun polanya akan surut.

Namun untuk menghilangkan korupsi dalam penyidikan Polisi secara khusus, dan tubuh Polisi secara umum, tidak hanya cukup dengan membicarakan bagaimana Polisi menggunakan hukum, namun juga perlu diperhatikan faktor kesejahteraan dan anggaran untuk kegiatan operasional kepolisian. Karena dengan adanya tingkat kesejahteraan yang lebih baik, maka keinginan-keinginan untuk mencari ‘penghasilan tambahan’ dengan memanfaatkan hukum yang ada dapat ditekan. Kemudian dengan tersedianya anggaran, khususnya untuk biaya penyidikan yang mencukupi, maka Polisi tidak perlu mencari dana untuk menutupi kegiatan penyidikan yang dilakukan.



[1] Tentang peran Polri dapat dilihat juga dalam Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Ketetapan Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

[2] SOERJONO SOEKANTO, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Cetakan ke-5, 2004, PT. Raja Grafindo Persada, halaman 5.

[3] BARDA NAWAWI ARIEF, Beberapa Aspek Kebijakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, 1998, PT. Citra Aditya Bakti, halaman 13-14.

[4] SOERJONO SOEKANTO, op cit, halaman 8.

[5] MOMO KELANA, Memahami Undang-Undang Kepolisian, Jakarta, 2002, PTIK Press, halaman 112.