Sabtu, 07 November 2009

PROPOLIS : PENYEMBUH AJAIB DARI SARANG LEBAH

KOMPOSISI DAN MANFAAT PROPOLIS :

Seorang Peneliti bernama Profesor Stangaciu tahun 2005 menyebutkan bahwa Propolis memiliki banyak manfaat dibidang kesehatan, dan saat ini digunakan secara luas sebagai obat berbagai penyakit.
Adapun Propolis itu sendiri adalah getah yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai pucuk tanaman dan dari tanaman yang patah.
Getah tanaman tersebut kemudian dicampur dengan enzim yang terdapat dalam kelenjar liur lebah dan digunakan ntuk melindungi sarang lebah dari berbagai virus, bakteri dan jamur.
Propolis tidak hanya penting bagi koloni lebah tetapi juga penting bagi kesehatan manusia maupun hewan.

Propolis memiliki komposisi yang sangat komplek. Pengetahuan yang lengkap terhadap komposisi Propolis sangat membantu untuk memanfaatkan Propolis dibidang kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai tipe propolis didapatkan lebih dari 300 unsur didalam propolis, diantaranya :
Flavanoids, chalcones, dehydrochalcones, asam alipatik dan ester lainnya, asam alipatik rantai panjang, minyak volatil rantai pendek, asam aromatik dan ester lainnya, asam benzoik dan turunannya, aldehida, , asam sinamat dan turunannya, ketone, phenol, asam amino, vitamin, mineral.
Adapun unsur Propolis secara kuantitatif adalah sebagai berikut :

• 55% getah
• 7,5 – 35% lilin
• 10% minyak esensial
• 5% pollen
• 5% asam amino
• 4,4 – 19% minyak terbang
sebagai akibat dari komplek dan lengkapnya unsur yang terdapat dalam Propolis, maka Propolis memilki lebih dari 60 manfaat positif bagi tubuh manusia. Manfaat positif itu diantaranya :
• mengaktifkan makrofaganti
• menghambat pertumbuhan sel tumor pada usus besar
• efek pembekuan darah
• anti alergy
• anti mikro organisme yang tahan terhadap asam
• anti bakteri
• disinfektan
• anti pembengkakkan
• anti leukeumia
• anti TBC
• antioksidan
• anti kejang
• anti stress
• antiseptik
• anti virus
• menurunkan efek buruk dari rokok dan alkohol
• menurunkan tekana darah
• menurunkan kolesterol darah
• menghaluskan kulit
• anti glaukoma
• menurunkan resiko pecahnya pembuluh darah
• menurunkan efek negatif penyinaran kanker
• anti radiasi matahari
• meningkatkan biosintesa protein

Berdasarkan banyaknya manfaat Propolis, maka terdapat lebih dari 300 jenis penyakit yang berasal dari seluruh sistemtubuh manusia, mulai dari :
• sistem pencernaan
• sistem pertahanan
• sistem saraf
• sistem sekresi
• sistem kelenjar
• sistem reproduksi
• sistem pernafasan
• sistem ekresi
• sistem sirkulasi
EFEK SAMPING DARI PROPOLIS :
Dr. Leonard Mc kewan menuliskan bahwa selama 2500 tahun penggunaan Propolis oleh berbagai masyarakat dari berbagai kebudayaan tidak tercatat adanya efek negatif yang serius dari Propolis.
Bahkan dokter-dokter di Rusia bisa memberikan 9 gram Propolis setiap harinya kepada pasien tanpa mengalami kendala.
Adapun efek ringan yang sering dirasakan oleh pasien adalah mulut dan tenggorokan terasa kering setelah mengknsumsi Propolis dan kulit yang terasa hangat setelah dioleskan Propolis.
Dengan kata lain Propolis tiadk mempunyai efek samping.

CIRI-CIRI PROPOLIS BEKERJA EFEKTIF :
Propolis mampu mengeluarkan berbagai racun yang sudah lama mengendap di dalam tubuh dengan cepat. Saat proses pengeluaran racun berlangsung akan terjadi sedikit “gangguan”, dan kondisi tersebut dinamakan sebagai detoksifikasi atau tindak balas atau juga tanggapan baik dari Propolis.

• Detoksifikasi muncul hanya sementara waktu dalam rangka proses penyembuhan penyakit.
• Oleh karena itu tidak perlu khawatir jika muncul detoksifikasi atau tindak balas setelah mengkonsumsi Propolis.
• tindak balas yang terjadi pada seseorang akan berbeda dengan tindak balas yang terjadi pada orang lain.
• sebagian orang merasakan dengan cepat sejak awal mengkonsumsi Propolis.
• sebagian orang lagi tidak merasakan apapun, hal ini bergantung pada keadaan dan kondisi tubuh pengguna Propolis.
• seseorang dengan kesehatan prima tidak akan ditemukan tindak balas apapun.
berikut ini beberapa gejala tindak balas yang mungkin terjadi setelah mengkonsumsi Propolis dan kaitannya dengan penyakit yang diderita atau permasalahan kesehatan yang dialami :
• Bersin, gatal pada hidung = Permasalahan pada hidung, polip atau sinusitis
• wajah terasa panas, tekanan darah naik sesaat, demam, pusing = Permasalahan pada system sirkulasi darah, darah tinggi
• kulit kaki terasa tebal dan dingin, sebagian badan terasa dingin, jantung berdebar = Tekanan darah rendah, kurang darah
• Susah buang air besar, mencret, BAB berlendir, BAB berdarah = Radang pada usus besar, gangguan pada usus, hemoroid.
• Mual, sering BAB, muntah = Obesitas, gangguan pada lambung
• Bengkak, gatal = Alergi
• Muncul kotoran pada mata, gatal, keluar air mata = Gangguan pada mata
• Mimpi buruk, gelisah, susah tidur = Gangguan pada system syaraf dan kepala
• Lelah, susah tidur, sakit pada sendi = Gangguan pada persendian
• Haus, keringat berbau, kenaikan kadar gula sesaat = Gangguan pada pancreas, diabetes
• Demam, susah tidur, terdapat pembengkakkan, ada pendarahan, tinja berwarna hitam = Tumor, kanker
• Batuk, kedinginan, sakit tenggorokan, demam = Permasalahan pada paru-paru, asma
• Ngantuk, diare, gula darah naik, selera makan turun = Permasalahan Hati, limpa, pankreas
• Bengkak kaki, sakit pinggang, susah buang air kecil = Permasalahan ginjal
• keletihan, ngantuk = Permasalahan pada hati
• Mual letih, keringat dingin = permasalahan pada perut
• Rasa sakit pada punggung, sakit di dada = Permasalahan jantung
• Kulit mengeras, muncul jerawat = Permasalahan pada kulit.
DIarsipkan di bawah: Home | Leave a Comment »
CONTACT PERSON
Posted on 16 Januari 2009 by propolislebah
Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut semua hal tentang
Melia Propolis, seperti :

- Manfaat Pro polis,
- Kegunaan Propolis,
- dsb.

Anda bisa menghubungi :
ARY DONNY SETIAWAN
HP : 081276981996
Email : arydnny@yahoo.com

Kamis, 07 Mei 2009

KASUS PENGGUSURAN DI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kasus penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Ibukota Jakarta, seperti di Kelurahan Tanjung Duren Selatan Jakarta Barat dan di Kali Adem Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara menimbulkan korban dan kerugian bagi masyarakat yang berdomisili dan menetap di lokasi-lokasi penggusuran tersebut..
Masalah penggusuran tersebut menimbulkan konflik sosial antara masyarakat penetap di satu sisi dengan aparat pemerintahan setempat di sisi yang lain, serta memerlukan suatu pengkajian tentang sebab dan akibat dari penggusuran tersebut.
Sosiologi hukum sebagai salah satu ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan timbal balik gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat dari segi hukum, dapat dijadikan suatu subyek untuk mengkaji masalah penggusuran tersebut.

2. IDENTIFIKASI MASALAH

Untuk mengkaji masalah penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta maka perlu dilakukan identifikasi permasalahan yang ada, yaitu “Bagaimana mengkaji kasus penggusuran di beberapa daerah di Jakarta dengan tinjauan sosiologi hukum ? “ Dari pokok permasalahan tersebut juga perlu dicari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan :
a. Apa yang menyebabkan pemerintah melakukan penggusuran?
b. Mengapa masyarakat korban penggusuran masih memiliki keinginan yang kuat untuk tinggal di lokasi tersebut dan melakukan perlawanan?
c. Apakah ada kepentingan-kepentingan pemerintah di lokasi penggusuran tersebut?

II. PEMBAHASAN

3. KASUS PENGGUSURAN DI BEBERAPA LOKASI DI JAKARTA

Kasus penggusuran di beberapa lokasi di DKI Jakarta memang menimbulkan suatu permasalahan sosial baru bagi Pemda setempat dan masyarakat korban penggusuran tersebut. Selain menimbulkan kerugian materiil bagi warga yang digusur, juga menimbulkan korban luka-luka akibat perlawanan yang dilakukan oleh para warga yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut. Di Kampung Sawah Tanjung Duren sedikitnya 9 (sembilan) orang luka-luka dalam peristiwa penggusuran 520 bangunan di lokasi tersebut . Lokasi tanah tersebut memang sarat dengan masalah dan banyak pihak yang menyalahgunakannya. Demikian juga kasus tanah Perum Perumnas di Cengakareng Timur juga banyak disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Para warga yang terkena penggusuran juga mencoba melakukan perlawanan, dengan membakar ban-ban bekas untuk menghalangi aparat Tramtib ataupun Polisi yang akan melakukan penggusuran, sehingga terjadilah kontak fisik yang mengakibatkan adanya korban yang menderita luka-luka.
Sedangkan menurut keterangan dari Pemda setempat bahwa para warga yang rumahnya digusur tersebut sudah mendapatkan ganti rugi yang layak dan mereka tidak berhak untuk tinggal di lokasi tanah yang digusur tersebut atau dengan kata lain para warga menempati lokasi tanah tersebut secara liar, karena mereka tidak memiliki surat-surat kepemilikan tanah tersebut dan ada pemilik tanah yang berhak, seperti Perum Perumnas untuk tanah yang berada di Cengkareng Timur.
Namun yang menjadi pertanyaan adala mengapa pemerintah baru sekarang dilakukan penggusuran, mengapa bukan pada saat para warga baru pertama kali menempati lokasi tanah tersebut dilakukan pelarangan sehingga mereka tidak sampai menempati lahan tersebut.

4. TEORI-TEORI

Untuk menganalisa permasalahan penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta, ada beberapa teori yang dapat digunakan, yaitu Teori Anomie milik R.K. Merton dan Teori Lower Class Culture (Teori Budaya Kelas Bawah) milik Walter B. Miller.
Dalam Teori Anomie milik R.K.Merton, ada 5 (lima) premis, yaitu :
a. Konformiti, yaitu masyarakat masih menerima nilai-nilai lama karena ada tekanan sosial.
b. Inovasi, yaitu masyarakat masih mengacu pada tujuan hidup yang ingin dicapai tetapi mengubah sarana untuk pencapaiannya.
c. Ritualisme, yaitu masyarakat menyesuaikan diri dengan cara baru untuk mencapai kesuksesan namun norma-norma lama tidak ditinggalkan.
d. Retreatism (Penarikan diri), yaitu masyarakat lepas pada kebudayaan dan melampiaskan diri pada ilusi (mabuk, narkoba).
e. Rebellion (Pemberontakan), yaitu masyarakat ingin mengubah sistem tetapi tidak punya kemampuan.
Sedangkan dalam Teori Budaya Kelas Bawah, terdapat 6 (enam) premis, yaitu :
a. Trouble (kesulitan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh gemar mencari gara-gara atau keributan.
b. Toughness (kenekatan/ketangguhan), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh sifatnya nekat (umumnya ditandai dengan simbol-simbol pada badannya, misalnya tato).
c. Smartness (kecerdikan/kelicikan), yaitu penghuni daerah kumuh berusaha untuk menipu dan tidak tertipu.
d. Excitement (kegembiraan yang berlebihan), yaitu penghuni daerah kumuh sangat konsumtif (mabuk-mabukan, prostitusi, dsb).
e. Fate (nasib), penghuni daerah kumuh merasa sudah ditakdirkan seperti itu (bergelut dengan kekerasan/kejahatan), tidak ada usaha untuk merubah.
f. Autonomy (kemandirian), yaitu orang yang tinggal di daerah kumuh cenderung tidak mau diganggu dan mengganggu orang lain.

5. PENGKAJIAN PERMASALAHAN DENGAN TEORI-TEORI SOSIOLOGI

Untuk mengkaji permasalahan penggusuran tersebut, maka perlu dikaji melalui teori-teori yang telah disebutkan di atas, sehingga dapat diperoleh gambaran mengapa masyrakat tersebut mendiami lokasi tanah tersebut yang sebenarnya bukan hak mereka, sampai dengan terjadinya penggusuran, serta perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
R.K. Merton dalam teori Anomie menyebutkan dalam satu premisnya, yaitu Inovasi, dimana masyarakat ingin mencapai tujuan hidupnya dengan merubah cara atau sarana pencapaiannya. Masyarakat yang tinggal di lokasi tanah tersebut kebanyakan merupakan golongan menengah ke bawah, yang sulit untuk mencari tempat tinggal. Adanya lokasi tanah kosong dan didukung adanya oknum yang memperjualbelikan tanah tersebut secara illegal dengan harga murah, membuat masyarakat golongan menengah ke bawah tersebut tertarik, karena adanya dorongan keinginan memiliki tempat tinggal tersebut, sehingga mereka membeli dan menempati lahan tersebut, hal ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga warga yang tinggal di lokasi tanah tersebut menjadi bertambah banyak.
Tidak adanya larangan ditambah masuknya fasilitas umum seperti listrik dan telepon, membuat para warga tersebut semakin betah dan bahkan menurut beberapa informasi para warga tersebut juga dikenai pungutan pajak bumi dan bangunan, sehingga akhirnya timbul perasaan bahwa mereka telah memiliki hak untuk tinggal dan menempati tanah tersebut. Hal ini disebutkan R.K Merton sebagai Ritualism, dimana masyarakat yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mereka tempati dan menganggap keberadaan mereka di lokasi tersebut sah.
Pada saat terjadi penggusuran para warga yang tinggal di lokasi tersebut mencoba melakukan perlawanan misalnya dengan cara membakar ban untuk menghalangi para petugas yang akan melakukan penggusuran dan cara kekerasan lainnya. Hal ini disebut oleh R.K. Merton sebagai Rebellion atau perlawanan, masyarakat yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut mencoba menghalangi kebijaksanaan Pemda setempat yang mereka anggap tidak adil dan menindas hak-hak mereka.
Apabila kita kaji melalui teori Lower Class Culture milik Walter B. Miller ada beberapa premis yang menggambarkan kondisi para warga yang tinggal di lokasi penggusuran tersebut, yaitu yang pertama adalah Toughness atau kenekatan, dimana masyarakat di lokasi tersebut merasa hak-hak mereka ditindas nekat melakukan perlawanan terhadap para petugas yang menggusur tempat tinggal mereka.
Yang kedua para warga merasa sudah merupakan nasib mereka tinggal di daerah yang terkena penggusuran tersebut (fate), mereka merasa tidak ada tempat lain yang dapat mereka gunakan sebagai tempat tinggal dan mereka tidak pernah berusaha untuk mencari tempat tinggal lain, karena sudah kerasan dan cocok tinggal di lokasi tersebut.
Yang terakhir, para warga tersebut memiliki sifat kemandirian, tidak mau diganggu oleh pihak lain, sehingga ketika aparat Pemda setempat datang dengan maksud melakukan penggusuran warga yang tinggal di lokasi tersebut merasa terganggu, sehingga timbullah perlawanan.
Selain itu Pemda setempat juga memiliki kepentingan-kepentingan terhadap tanah tersebut, misalnya di Cengkareng Timur, tanah yang menurut keterangan Pemda setempat merupakan milik Perum Perumnas akan dibangun sebagai lokasi perumahan oleh Perum Perumnas tersebut, sehingga dengan alasan tersebut dan tidak adanya surat kepemilikan tanah warga setempat, serta sudah adanya peringatan Pemda setempat agar para warga segera meninggalkan lokasi tersebut, membuat Pemda melakukan penggusuran.

III. KESIMPULAN

Dari pengkajian kasus penggusuran yang terjadi di beberapa daerah di Jakarta dengan menggunakan beberapa premis yang terdapat dalam teori Anomie dan teori Low Class Culture dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Pemerintah daerah setempat melakukan penggusuran karena menganggap bahwa warga masyrakat yang tinggal di lokasi-lokasi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah tersebut.
2. Warga masyarakat yang tinggal di lokasi penggusuran dan menjadi korban penggusuran enggan untuk pindah dari lokasi tersebut dan melakukan penggusuran disebabkan karena mereka telah tinggal cukup lama di lokasi tersebut; merasa bahwa mereka ditakdirkan untuk tinggal di lokasi tersebut; dan merasa bahwa tanah yang mereka tempati sudah menjadi hak milik mereka.
3. Para warga tersebut melakukan perlawanan kepada para petugas yang melakukan penggusuran tersebut karena merasa kebijaksanaan Pemda setempat dalam mengadakan penggusuran telah menindas hak-hak mereka, sehingga menyebabkan mereka nekat untuk melakukan perlawanan yang menyebabkan jatuhnya korban luka-luka.
4. Pemda setempat melakukan penggusuran di lokasi tersebut karena menganggap para warga yang menempati lokasi tersebut secara tidak sah, dan pada lokasi tersebut akan dibangun sarana-sarana seperti perumahan.

Dari kesimpulan di atas dapat diambil suatu pelajaran bahwa keberadaan warga di lokasi penggusuran tersebut secara tidak sah, namun karena mereka tinggal di tempat itu telah lama dan bertahun-tahun, serta tidak pernah ada pihak yang melakukan larangan menyebabkan mereka merasa berhak untuk tinggal di lokasi tersebut, sehingga pada saat ada peringatan dari Pemda setempat untuk segera meninggalkan lokasi tersebut dan dilakukan penggusuran mereka tetap tidak bersedia untuk meninggalkan lokasi tersebut dan melakukan perlawanan.
Oleh karena itu agar tidak terjadi hal seperti ini terulang kembali, hendaknya Pemda setempat atau instansi terkait perlu melakukan evaluasi bahwa keberadaan suatu kelompok masyarakat di lokasi tertentu secara tidak sah perlu diantisipasi dengan melakukan larangan terlebih dahulu, jangan larangan tersebut dilakukan setelah kelompok tersebut sudah menetap selama bertahun-tahun. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik social yang lebih besar lagi apalagi pada saat sekarang dimana Indonesia dalam kondisi perekonomian yang sulit dan masyarakat mudah diombang-ambing oleh isu-isu yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Jumat, 03 April 2009

PENYELESAIAN SENGKETA PIDANA DI LUAR SIDANG PENGADILAN DALAM PROSES PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN

Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang sehat akal dan fikiran. Artinya jika ada orang yang senang berselisih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya disadari. Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling bertabrakan/bertentangan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikaian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.
Dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana, penyelesaian suatu masalah pidana diputuskan melalui proses peradilan dari mulai proses penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).3
Menurut Erman Rajagukguk, masyarakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa di luar pengadilan disebabkan karena tiga alasan, yaitu: Pertama, penyelesaian sengketa di pengadilan adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaikan tertutup, tanpa diketahui oleh public. Kedua, sebagian masyarakat, khususnya orang bisnis menganggap hakim tidak selalu ahli dalam permasalahan sengketa yang timbul. Dan yang Ketiga, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari pihak mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan dicapai melalui kompromi.
Menurut Gatot Soemartono ada beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan , yaitu:
1. Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut.
2. Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima kedua belah pihak.
3. Arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat boleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.
Negosiasi dapat merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang menarik di Indonesia, karena azas musyawarah dan mufakat yang telah menjiwai bangsa kita. Negosiasi perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa tanpa ada penengah. Dalam proses negosiasi,negosiator perlu memahami tiga aspek dalam proses negosiasi yaitu : cultural, legal dan practical. Pertama, budaya antar bangsa berlainan dalammelihathukum peranan sarjana hukum, dan kontrak. Perbedaan budaya mencakup pula cara dan kebiasaan. Hukum bagi masyarakat Barat diartikan sebagai hak (rights). Masyarakat Amerika, umpamanya, dikatakan “very litigios”, hampir selalu menurut hak mereka melalui Pengadilan. Di masyarakat Timur, terutama yang mempunyai akar ajarab Confucius, hukum itu dianggap sebagai instrument untuk menjaga ketertiban (order). Mereka yang mengganggu ketertiban perlu dihukum. Hukum identik dengan hukuman, yang diputus oleh hakim di Pengadilan. Masyarakat yang litigious seperti Amerika Serikat, selalu membawa “lawyer” dalam proses negosiasi untuk merundingkan hak-hak dan kemudian kewajiban mereka. Ini berbeda dalam proses negosiasi dengan orang Cina, Jepang, Korea. Mereka akan bertanya, jika anda membawa lawyer, apakah anda mau berbisnis atau mencari-cari kesalahan. Ada perbedaan persepsi terhadap “lwayer” dalam masyarakat Amerika dan Jepang. Begitu pula ada perbedaan persepsi mengenai kontrak. Untuk orang Jepang kontrak adalah simbol kerjasama untuk saling menguntungkan dan bukan merupakan suatu dokumen hukum. Dalam berbisnis masyarakat Jepang menganggap “trust the people rather paper”. Dalam proses negosiasi, kedua belah pihak perlu memahami juga perbedaan budaya berkenaan dengan karakter dan kebiasaan masing-masing pihak. Orang Amerika cenderung berkata terus terang dan langsung, sedangkan orang Jepang biasa mengataka “ya” tidak selalu berarti “setuju”.
Aspek Kedua, adalah hukum, setiap negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan dengan sengketa yang coba untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan yang merupakan “public policy”. Selanjutnya para negosiator perlu mengetahui instrumen hukum” yang dapat dipergunakan sebagai tanda tercapainya penyelesaian sengketa lainnya. Ketiga, aspek praktis, yaitu mutlak perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak dicapai dalam perundingan untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Tim negosiator, jika dipandang perlu, dilengkapi dengan staf yang mengerti masalah keuangan,produksi, atau pemasaran.
Tidak ada defenisi yang sederhana atau lebih luas mengenai negosiasi. Setiap keinginan yang menuntut kepuasan dan kebutuhan yang harus dipenuhi membuka kesempatan kepada orang untuk masuk dalam proses negosiasi. Bilamana seseorang bertukar ide dengan maksud mengubah hubungan, bilamana mereka berusaha untuk mencapai kesepakatan, mereka sedang bernegosiasi.
Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Ia bisa negara, Organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum, atau ilmuan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.
Jika cara penyelesaian dengan menggunakan diatas gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lain seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase. Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui arbitrase daripada pengadilan. Biasanya arbiter pertama-tama membahas masalah yang timbul, berusaha mencapai konsesus. Jika usaha ini gagal, negosiasi diantara anggota panel biasanya melahirkan putusan yang kompromis. Tidak selalu harus melalui pemungutan suara.
Lembaga arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah yang melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya. Dengan perkataan lain, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis dengan bantuan pihak ketiga, bukan hakim, walaupun dalam pelaksanaan putusannya harus dengan bantuan hakim. Apabila salah satu pihak kemudian enggan memberikan bantuannya untuk pengambilan keputusan atau tidak mentaati keputusan yang telah diambil oleh orang yang mereka berikan wewenang untuk sengketa tersebut, pihak itu dianggap melakukan breach of contract atau melanggar perjanjian.
Yang menjadi pertanyaan apakah penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut dapat diljadikan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang masuk dalam lingkup hukum pidana?

II. PEMBAHASAN

Munculnya wacana penyelesaian kasus-kasus pidana di luar sidang pengadilan berangkat dari beberapa sebab, yaitu:
1. Adanya beberapa pelapor yang melaporkan kasus pidananya kepada pihak penyidik dengan tujuan supaya kerugian yang dia dapat dari kasus pidana tersebut dapat kembali, misalnya dalam kasus penipuan, penggelapan, penganiayaan dan sebagainya.
2. Diaturnya beberapa pasal pidana dalam undang-undang yang mengatur tentang hukum pidana sebagai delik aduan, dimana pelapor dapat mencabut laporan/pengaduannya apabila yang bersangkutan merasa tidak perlu laporan/pengaduan tersebut diproses lanjut, misalnya Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, beberapa UU HAKI, dan beberapa pasal dalam KUHP.
3. Adanya kecenderungan masyarakat merasa bahwa apabila suatu proses kasus pidana sudah terjadi kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, maka kasus tersebut dianggap selesai, karena masing-masing pihak sudah merasa memperoleh keadilan.
4. Adanya keengganan para penegak hukum, khususnya penyidik untuk menindaklanjuti kasus-kasus pidana yang sudah terjadi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai, dengan alasan bahwa kasus tersebut sudah dianggap selesai, untuk mengejar target penyelesaian perkara yang ditangani.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka ada beberapa faktor yang mendukung. Yang pertama adalah rasa keadilan dalam masyarakat, untuk sebagian masyarakat keadilan tidak berhubungan dengan hukum yang memiliki kekuatan yang tetap. Masyarakat merasa bahwa keadilan yang mereka inginkan tidak harus melalui suatu proses sidang pengadilan, yang dengan kata lain keadilan menurut hukum tidak selalu sama dengan keadilan dalam pandangan masyarakat.
Beberapa kasus pidana yang telah dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak penyidik, tidak selalu diharapkan oleh masyarakat diselesaikan melalui proses hukum sampai dengan sidang pengadilan. Sebagai contoh kita ambilkan dari laporan pengaduan masyarakat di salah satu Polsek di Pekanbaru tentang adanya dugaan kasus penggelapan dalam jabatan (pasal 374 KUHP), dalam laporannya tersebut, si pelapor telah menyisipkan pesan agar kasus pidana yang dilaporkannya tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan pada tahap penyidikan, sehingga tidak perlu dilanjutkan sampai ke tahap penuntutan dan pengadilan apabila sudah ada kesepakatan damai antara pihak pelapor dengan pihak yang dilaporkan.
Contoh kedua adanya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang siswa SMU di Pekanbaru terhadap salah seorang temannya. Pada saat akan dilakukan upaya paksa terhadap si tersangka, pihak orang tua tersangka melakukan negosiasi dengan pihak orang tua pelapor agar kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cara damai. Kemudian kedua belah pihak melakukan upaya perdamaian dengan cara negosiasi, dan setelah ada kesepakatan damai mereka sepakat dan meminta kepada penyidik untuk tidak melanjutkan proses pidananya ke tahap penuntutan.
Faktor yang kedua adalah pandangan sebagian masyarakat yang menilai bahwa proses hukum yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian lebih efektif untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi, terutama dari pihak pelapor. Hal ini didukung dengan terkadang masih samarnya batas antara permasalahan pidana dengan perdata, dan adanya kasus pidana yang menyertai kasus perdata yang terjadi. Kewenangan upaya paksa yang dimiliki oleh penyidik dianggap oleh sebagian masyarakat efektif untuk menekan pihak yang bersengketa dengan mereka, sehingga dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Sebagai contoh seseorang melaporkan adanya dugaan kasus penipuan atau penggelapan, dimana orang tersebut terikat perjanjian dengan pihak lain untuk memberikan dana untuk pembangunan suatu kawasan perumahan dengan janji akan adanya provit atau keuntungan yang akan diperoleh dari kegiatan tersebut. Namun setelah kegiatan tersebut selesai ada sebagian hak yang seharusnya diterima oleh pelapor belum didapatnya, sehingga pelapor tersebut melaorkan kasusnya ke pihak penyidik. Oleh penyidik dilakukan proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang bersengketa tersebut dan pada saat proses pemeriksaan terjadi negosiasi antara kedua belah pihak serta dilibatkannya pihak penyidik sebagai mediator, dan kemudian akhirnya antara kedua belah pihak terjadi kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya tersebut.
Faktor yang ketiga adalah adanya kewenangan diskresi yang dimiliki oleh penyidik Polri. Kewenangan melakukan diskresi diatur dalam pasal 18 UU Polri yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum, pejabat Polsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Untuk melakukan diskresi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang petugas kepolisian, yaitu:
1. Tindakan harus benar-benar harus diperlukan atau asa keperluan.
2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran, yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan.
4. Asas keseimbangan.
Di dalam kekuasaan diskresi inilah penyidik diberi kebebasan menurut pertimbangannya, apakah Ia akan memeriksa seseorang, menahan, atau membebaskannya berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah diinterpretasikannya. Hal tersebut menyebabkan penyidik terkadang mempertimbangkan apakah suatu perkara pidana yang sedang disidiknya harus dilanjutkan atau tidak. Namun faktor ini, lebih cenderung dipengaruhi dari dua faktor di atas.
Berdasarkan ketiga faktor pendukung di atas, maka sebenarnya penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan sebenarnya terjadi di lapangan, khususnya pada tahap proses penyidikan. Penyelesaian sengketa pidana di luar sidang pengadilan tersebut terjadi melalui proses negosiasi dan mediasi. Negosiasi terjadi antara pihak pelapor dan pihak yang dilaporkan untuk mendapatkan kesepakatan damai, sedangkan mediasi biasanya melibatkan pihak penyidik sebagai mediator untuk menyelesaikan permasalahan pidana tersebut.
Keterlibatan penyidik atau Polri secara umum sebagai mediator sebenarnya tidak hanya dalam kasus-kasus pidana yang dilaporkan saja, namun terkadang sengketa-sengketa antara kelompok masyarakat dalam jumlah besar juga banyak melibatkan pihak kepolisian sebagai mediator. Hal tersebut dimungkionkan karena pihak kepolisian dianggap selain sebagai penegak hukum, juga bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memiliki fungsi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Polri membawa opini dalam masyarakat, bahwa untuk mempercepat proses sengketa yang dihadapinya, baik pidana dan bahkan yang cenderung perdata, masyarakat lebih cenderung menggunakan jasa penyidik untuk dapat membantu menyelesaikan permasalahannya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat dalam kasus-kasus tertentu lebih suka permasalahannya dilaporkan ke pihak penyidik dengan tujuan dapat diselesaikan dengan cara kekieluargaan, dibandi8bngkan perkara tersebut harus dibawa sampai ke tingkat pengadilan baik itu secara pidana maupun perdata.

III. PENUTUP

Adanya praktek-praktek penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan, khususnya pada tahap penyidikan perlu kiranya disikapi secara bijak. Karena munculnya praktek tersebut disebabkan masyarakat sebagai pencari keadilan memandang bahwa keadilan yang mereka inginkan tidak harus selalu melalui sidang pengadilan.
Dalam kasus-kasus pidana tertentu, khususnya yang berkaitan dengan finansial sebagian masyarakat menganggap bahwa keadilan yang mereka inginkan adalah kembalinya nilai kerugian yang mereka dapat dari sengketa yang terjadi. Sehingga mereka melaporkan kasus mereka kepada pihak penyidik dengan harapan bahwa akan ada tekanan terhadap lawan mereka, sehingga akan ada proses negosiasi atau mediasi untuk penyelesaian sengketa yang mereka hadapi.
Rasa keadilan yang diharapkan masyarakat dan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik, jika tidak dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang jelas akan menyebabkan munculnya diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik, yang dapat menimbulkan adanya korupsi. Hal ini disebabkan karena tingkat komitmen individu polisi terhadap moralitas, mempengaruhi pola-pola korupsi ditubuh kepolisian. Semakin kuat integritas moral petugas kepolisian, kian bersih ia melaksanakan tugasnya. Kalaupun ada kehendak memanfaatkan jabatan sesuai dengan diskresinya untuk memperoleh keuntungan secara pribadi, umumnya karena didesak oleh pihak-pihak dalam masyrakat yang tengah berurusan dengan jabatannya. Pejabat polisi semacam ini biasanya baru bersedia menerima sesuatu pemberian, apabila dinilai pemberian itu tidak melanggar terlalu jauh sumpah jabatan.
Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut perlu kiranya dibuat aturan-aturan hukum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa pidana yang berkaitan dengan finansial di luar sidang pengadilan, karena pada kenyataannya hal tersebut banyak ditemukan di lapangan, sehingga rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat tidak justru akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat yang lain.























DAFTAR PUSTAKA

ERMAN RAJAGUKGUK, “ Penyelesaian Sengketa Alternatif” Negosiasi-Mediasi-Konsiliasi-Arbitrase, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,Jakarta, 2005.

GATOT SOEMARTONO, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2006.

MOMO KELANA, Memahami Undang-Undang Kepolisian, PTIK Press, Jakarta, 2002.

Rabu, 18 Februari 2009

HUKUM DAN KEADILAN : KORUPSI DALAM PENYIDIKAN POLISI

PENDAHULUAN

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menerangkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri[1], yang menandakan bahwa Polri tidak lagi memiliki peran pertahanan dan bukan lagi unsur ABRI/militer, serta menandakan kemandirian Polri menuju profesionalisme Polri.

Dalam fungsinya sebagai aparat penegak hukum, Polri atau Polisi berada dalam lingkaran Criminal Justice System (CJS) bersama dengan Jaksa, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan. Definisi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah “secara konsepsional, maka inti dan arti penegakkan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).”[2]

Menurut Barda Nawawi Arief dalam penegakan hukum pidana harus juga memperhatikan sekurang-kurangnya 4 (empat) aspek dari perlindungan masyarakat, yaitu:

1. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penanggulangan kejahatan.

2. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

3. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.

4. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat adanya kejahatan. Oleh karena itu wajar apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan dapat mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.[3]

Kualitas penegakan hukum yang dilakukan terhadap suatu tindak pidana tidak dapat digeneralisir, meskipun dilakukan dengan pentahapan dan metode yang sama. Menurut Soekanto, masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[4]

Setiap jenis profesi dalam penegakan hukum, utamanya Polisi, umumnya rentan terhadap korupsi. Untuk memahami kerentanan itu, kita perlu mengetahui problem besar apa yang dihadapi polisi setiap harinya dalam bekerja.

Menurut pernyataan yang dikutip diatas, setidaknya masalah besar tersebut adalah berkenaan dengan bagaimana polisi menggunakan hukum. Sungguh menarik, bahwa problemnya tugas sehari-hari bukan bagaimana menegakkan hukum, melainkan tentang menggunakan hukum. Batas antara menggunakan hukum dan menegakkan hukum sangat tipis. Karena tipisnya, dari aspek luar perbuatan nyaris tak dapat dibedakan, apakah polisi benar-benar hendak menegakkan hukum atau sekedar berkeinginan menggunakan hukum yntuk kepentinganpribadi. Penggunaan hukum dimungkinkan karena polisi dalam tugasnya dihadapkan pada berbagai pilihan tindakan untuk mengatasi keadaan yang umumnya bersifat serta merta. Kekuasaan menggunakan hukum semacam ini tertampung dalam kekuasaan diskresi, yaitu sesuatu jenis kekuasaan penggunaan kreativitas individual untuk memecahkan persoalan tugas yang dihadapi. Diseputar wewenang diskresi polisi inilah korupsi polisi biasanya marak.

Kewenangan melakukan diskresi diatur dalam pasal 18 UU Polri yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum, pejabat Polsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Untuk melakukan diskresi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang petugas kepolisian, yaitu:

1. Tindakan harus benar-benar harus diperlukan atau asa keperluan.

2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.

3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran, yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan.

4. Asas keseimbangan.[5]

Didalam kekuasaan dikresi inilah polisi diberi kebebasan menurut pertimbangannya, apakah Ia akan memeriksa seseorang, menahan, atau membebaskannya berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah diinterpretasikannya. Berperannya faktor diskresi inilah yang menyebabkan orang mempunyai pengalaman yang berbeda-beda ketika berurusan dengan kepolisian. Ada pula yang merasa diperlakukan dengan lembut, sementara ada pula yang memperoleh perlakuan yang kurang menyenangkan. Hal ini bisa timbul karena didalam kekuasaan diskresi pengaruh individual memang menonjol. Memang, adanya kekuasaan diskresi itu menyebabkan sentuhan-sentuhan pribadi dalam pelaksanaan tugas kepolisian sulit dielakkan. Keadaan ini tentunya relative rawan terhadap maraknya korupsi.

Berangkat dari batas yang tipis antara diskresi dan diskriminasi itu, maka untuk mengetahui pola-pola korupsi ditubuh kepolisian, yang pertama-tama perlu dipelajari ialah seberapa luas rentang diskersi yang diberikan undang-undang kepada masing-masing kedudukan. Seperti diketahui, semakin tinggi jabatan, apalagi bila kedudukan itu penting, bertambah tinggi pula wewenang diskresinya. Sebaliknya, semakin rendah struktur jabatan, kian mengecil pula kekuasaan diskresi pejabatnya. Pola korupsi mengikuti rentang diskresi ini. Suatu contoh Polisi Lalu Lintas yang berada dilapangan. Mereka memiliki kewenangan untuk memberi sekedar peringatan bagi pengguna jalan yang melanggar aturan lalu lintas, Tetapi ia berwenang pula ‘menilangnya’ sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika mereka bersedia korupsi, maka korupsinya tak jauh dari diskresi ini, yakni memberi peringatan kemudian menerima sedikit uang dan lantas mempersilahkan pelanggar jalan tersebut berlalu.

Lain halnya dengan Kepala Satuan Lalu lintas yang jangkauan diskresinya sudah meningkat pada perizinan. Apabila ia hendak korup, ruangnya cukup luas, dari mulai pelaksanaan korupsi berkaitan dengan proses perijinan yang menjadi wewenangnya, sampai dengan penggunaan anggotanya di lapangan untuk melakukan pungutan-pungutan berkaitan dengan tugas dan wewenangnya.

KORUPSI DALAM PROSES PENYIDIKAN POLRI

Sebagaimana dikemukakan bahwa kekuasaan diskresi dapat mendorong pelaksanaan tugas tercampuri warna kepribadian individu polisi. Hal ini berarti pengaruh pribadi polisi atas jalannya penegakan hukum pada tingkat kepolisian sangat kuat. Akibatnya manakala terjadi korupsi pola-polanya tidak selalu persis sama. Misalnya apabila individu polisi memandang kekuasaan yang disandangya sebagai komoditas yang sewaktu-waktu dapat dipertukarkan dengan sejumlah material tertentu, maka korupsi yang dilakukan akan terjadi lebih terang-terangan daripada sembunyi-sembunyi, seperti berani langsung meminta sejumlah uang kepada pihak-pihak yang tengah membutuhkan jasanya.

Tingkat komitmen individu polisi terhadap moralitas, mempengaruhi pola-pola korupsi ditubuh kepolisian. Semakin kuat integritas moral petugas kepolisian, kian bersih ia melaksanakan tugasnya. Kalaupun ada kehendak memanfaatkan jabatan sesuai dengan diskresinya untuk memperoleh keuntungan secara pribadi, umumnya karena didesak oleh pihak-pihak dalam masyrakat yang tengah berurusan dengan jabatannya. Pejabat polisi semacam ini biasanya baru bersedia menerima sesuatu pemberian, apabila dinilai pemberian itu tidak melanggar terlalu jauh sumpah jabatan.

Korupsi ditubuh kepolisian tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat. Mereka yang tersangkut perkara pidana yang tengah ditangani oleh polisi misalnya, umumnya akan berusaha sekuat tenaga lepas dari penyidikan. Mereka dengan segala cara akan melakukan berbagai pendekatan kepada petugas dengan bermacam iming-iming. Pelapor untuk perkara yang sama, juga akan gencar melakukan pendekatan, agar penyidikan atas tersangka tetap dilanjutkan. Pada konteks ini ‘jasa’ kepolisian diperebutkan. Sesuai dengan hukum pasar, kian diperebutkan semakin mahal.

Biasanya yang diperebutkan untuk didekati adalah polisi yang memiliki tingkat diskresi yang lebih tinggi, yaitu mereka yang jabatannya mempunyai pengaruh langsung terhadap jalannya perkara atau mereka yang berwenang sebagai pengambil keputusan dalam struktur dimana tindak pidana tersebut diproses. Besarnya struktur memungkinkan pejabat kepolisian yang didekati tersebut tidak menerima secara langsung pemberian. Biasanya sudah ada anak buah yang dipercaya untuk mengorganisir pemberian itu. Hal ini berbeda dengan petugas kepolisian pada tingkat bawah yang menerima pemberian secara man-to man.

Sehubungan dengan partisipasi masyarakat dalam membantu korupsi ditubuh kepolisian ini ada dua; pada tingkat jabatan tinggi cenderung pemberi yang datang,sedang ditingkat lapangan condong polisi yang menggali agar muncul pemberian.

Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana , nuansa korupsi juga sangat kental. Hal ini dapat digambarkan melalui contoh-contoh korupsi yang muncul dalam tahapan-tahapan penyidikan yang dilakukan oleh Polisi, yaitu sebagai berikut:

1. Penerimaan Laporan Polisi

Pada penerimaan Laporan Polisi sudah terbuka kemungkinan adanya oknum polisi yang berani meminta sejumlah uang kepada pelapor dengan alasan kertas tidak ada, pita habis dan alasan lainnya atau bahkan tanpa alasan sedikitpun. Bila hal ini tidak diberikan ada harapan bahwa Laporan Polisi itu baru selesai keesokan harinya, namun bila diberikan, maka dalam 3-5 jam laporan tersebut sudah selesai, bahkan bagi tindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan matinya orang atau perampokan suatu rumah yang memerlukan pemeriksaan tempat kejadian perkara inipun dapat dijadikan obyek.

2. Penyelidikan

Pada tahap penyelidikan juga kadang kala pelapor dimintai uang dengan alasan dana untuk penyelidikan sangat kecil. Termasuk alasan melakukan penyelidikan ke luar kota, dan memerlukan biaya transportasi yang cukup besar, misalnya memerlukan pesawat dengan alasan untuk kecepatan waktu.

3. Pemanggilan

Pada saat pemanggilan juga berpotensi ada oknum polisi yang meminta uang kepada pihak yang dipanggil dengan disertai ancaman halus; apabila tidak mau datang akan ditangkap. Unsur ketakutan pihak yang dipanggil akan dimanfaatkan untuk memperoleh uang.

4. Penangkapan

Pada tahap penangkapan seringkali terjadi negosiasi untuk mendapatkan sejumlah uang antara petugas dengan tersangka. Bila terjadi persetujuan dalam negosiasi tersebut, tersangka dilepaskan dan tersangka harus dianggap tidak pernah ketemu. Tersangka diperintahkan untuk pergi jauh. Tetapi, bila dalam tempo dua atau tiga hari tertangkap kembali, persetujuan pertama dianggap batal, demikian seterusnya, sampai petugas benar-benar menjalankan tugas menangkapnya.

5. Penahanan

Pada saat sebelum dilakukan penahanan biasanya terjadi kemungkinan dilakukan perundingan untuk mendapatkan sejumlah uang. Jika uang dimaksud sulit didapat, segera dikeluarkan surat perintah penahanan agar tersangka segera dimasukkan dalam sel tahanan. Tetapi pada saat itu juga terjadi negosiasi kembali untuk mendapatkan sejumlah uang agar tersangka tidak dimasukkan ke dalam sel tahanan, melainkan tersangka tersebut cukup ditempatkan di salah satu ruangan dengan dijaga oleh anggota. Apabila uang yang mengalir dari tersangka cukup banya. Kondisi itu tidak akan berlangsung lama. Dengan bantuan para pemeriksa yang telah menerima sejumlah uang, pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan dengan secepatnya, dan kemudian diajukan permohonan penangguhan penahanan kepada pimpinan. Agar permohonan ini diloloskan, maka perlu juga dilampirkan sejumlah uang didalamnya, kecuali ada perintah dari pimpinan yang menjadi atasan penyidik. Biasanya walaupun ada perintah dari pimpinan atau atasan penyidik agar penahanan tersangka ditangguhkan, tetap saja tersangka mengeluarkan sejumlah uang, walaupun jumlahnya tak lagi besar. Setelah tahap penahanan itu, jika penyidikan dilanjutkan, masih mungkin dilakukan beberapa tahap seperti; penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, penyerahan tersangka,dan barang bukti maupun penghentian penyidikan. Pada semua tahapan ini dimungkinkan oknum polisi memperoleh sejumlah uang secara tidak sah, dan yang terbesar adalah pada apa yang disebutkan terakhir. Penghentian penyidikan merupakan obyek terbesar, karena itu umumnya tersangka rela membayarnya dengan harga tinggi.

Apabila dicermati dari contoh-contoh korupsi yang bisa terjadi dalam tahapan-tahapan penyidikan, maka yang menjadi inti permasalahannya adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam proses penyidikan merupakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh Polisi. Penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang sebagai penyidik tersebut terjadi karena selain beberapa faktor di atas juga disebabkan sangat minimnya anggaran yang disiapkan negara untuk proses penyidikan. Untuk penyidikan kasus yang sifatnya berat negara hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 14 juta, sedangkan apabila dibandingkan dengan kasusnya sendiri, dana tersebut jelas-jelas tidak mencukupi. Sebagai contoh untuk melakukan penindakan terhadap kasus pembalakan liar, Polisi memerlukan biaya untuk mendatangi tempat kejadian perkara yang berada jauh dalam hutan, memerlukan biaya transportasi untuk mengangkut personel yang tidak sedikit, sampai dengan biaya untuk pengamanan barang bukti, yang pasti tidak cukup dibiayai dengan anggaran yang disebutkan di atas tadi.

Selain itu, biaya yang diberikan tersebut tidak diberikan untuk seluruh perkara yang dilakukan penyidikan, sehingga Polisi harus memilih perkara mana yang perlu dilanjutkan sampai dengan pengadilan dan perkara mana yang cukup diselesaikan sampai tingkat penyidikan saja. Bahkan ada beberapa perkara yang digelapkan atau tidak dilaporkan kepada atasan penyidik, yang sering disebut sebagai “dark number”. Kondisi seperti ini menyebabkan Polisi melakukan penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan, yang tujuannya selain untuk menutupi biaya operasional penyidikan, juga untuk memperkaya diri anggota Polisi itu sendiri.

Korupsi di tubuh kepolisian umumnya kurang memiliki unsur merugikan keuangan Negara yang bersifat langsung. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri biasanya hanya merugikan secara material anggota masyarakat secara individual, kecuali dalam hal kejahatan terorganisir tertentu, seperti dalam penanganan perkara yang memang kuat unsur korupsinya.

Tindak pidana korupsi di kepolisian bersifat ‘ke luar’ daripada ‘ke dalam’. Hal ini terbukti nyaris tak banyak terdengar adanya penggelapan dana anggaran atau penyimpangan dana budjeter kepolisian, karena memang anggaran yang ada saja belum mencukupi untuk membiayai kegiatan operasional kepolisian secara keseluruhan. Pola korupsi ini, tentu saja sulit dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang lebih kuat bertumpu pada unsur merugikan keuangan negara.

PENUTUP

Sebenarnya sulit merumuskan pola-pola korupsi yang umum terjadi ditubuh kepolisian, apalagi jika diingat kuatnya sentuhan unsur pribadi dalam pelaksanaan tugas kepolisian karena luasnya ruang diskresi. Faktor Individu ini mengakibatkan pola korupsi relatif berwarna. Yang pertama bertindak dan tidaknya oknum polisi tergantung pada bayaran langsung yang diterimanya dari pihak-pihak yang membutuhkan jasa polisi. Pada jenis korupsi ini, oknum polisi secara sadar memperlakukan kekuasaan yang dipegangnya sebagai komoditas. Pola korupsi yang kedua adalah korupsi oknum pejabat polisi dengan cara menerima setoran dari anak buah yang melakukan korupsi. Korupsi ini juga dapat disebut korupsi yang sudah terstruktur, artinya tidak dapat terwujud manakala tidak melalui struktur resmi yang ada. Pola korupsi yang terakhir adalah korupsi yang dilakukan dimana seluruh korps atau kesatuan secara sadar dan bersama-sama terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi untuk menguntungkan kesatuan dan pribadi yang ada didalamnya.

Dalam mencermati pola korupsi di kepolisian perhatian hendaknya tidak difokuskan pada bagaimana polisi menegakkan hukum, melainkan pada bagaimana polisi menggunakan hukum. Sebab pada yang terakhir inilah terjadinya korupsi itu dimungkinkan, karena hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan korupsi. Hukum tidak digunakan sebagai alat untuk mencari keadilan, namun hukum digunakan sebagai alat untuk ‘mencari uang’ dalam rangka memperkaya diri sendiri. Apabila hukum dipergunakan oleh polisi secara semestinya, patut dipercaya korupsi di kepolisian apapun polanya akan surut.

Namun untuk menghilangkan korupsi dalam penyidikan Polisi secara khusus, dan tubuh Polisi secara umum, tidak hanya cukup dengan membicarakan bagaimana Polisi menggunakan hukum, namun juga perlu diperhatikan faktor kesejahteraan dan anggaran untuk kegiatan operasional kepolisian. Karena dengan adanya tingkat kesejahteraan yang lebih baik, maka keinginan-keinginan untuk mencari ‘penghasilan tambahan’ dengan memanfaatkan hukum yang ada dapat ditekan. Kemudian dengan tersedianya anggaran, khususnya untuk biaya penyidikan yang mencukupi, maka Polisi tidak perlu mencari dana untuk menutupi kegiatan penyidikan yang dilakukan.



[1] Tentang peran Polri dapat dilihat juga dalam Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Ketetapan Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

[2] SOERJONO SOEKANTO, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Cetakan ke-5, 2004, PT. Raja Grafindo Persada, halaman 5.

[3] BARDA NAWAWI ARIEF, Beberapa Aspek Kebijakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, 1998, PT. Citra Aditya Bakti, halaman 13-14.

[4] SOERJONO SOEKANTO, op cit, halaman 8.

[5] MOMO KELANA, Memahami Undang-Undang Kepolisian, Jakarta, 2002, PTIK Press, halaman 112.