Jumat, 03 April 2009

PENYELESAIAN SENGKETA PIDANA DI LUAR SIDANG PENGADILAN DALAM PROSES PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN

Perselisihan atau pertengkaran atau persengketaan merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap orang sehat akal dan fikiran. Artinya jika ada orang yang senang berselisih/bersengketa, dapat dipastikan bahwa orang itu tidak waras. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat, dimana kita hidup di tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali tidak berhadapan dengan perselisihan. Perselisihan itu bisa disebabkan oleh hal yang sepele, dan tidak mempunyai akibat hukum apapun, seperti perbedaan pendapat dengan isteri/suami tentang penentuan waktu keberangkatan ke luar kota atau bisa pula merupakan persoalan serius dan mempunyai akibat hukum, misalnya tentang batas tanah dengan tetangga atau perselisihan atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
Suatu perselisihan itu muncul kepermukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, perselisihan itu tidak ada atau berakhir tatkala ketidakbenaran dan ketidakberhakkannya disadari. Di dalam pergaulan masyarakat, kedamaian adalah merupakan idaman setiap anggota masyarakat. Kedamaian akan terwujud antara lain kalau aneka kepentingan yang berbeda dari masing-masing anggota masyarakat tidak saling bertabrakan/bertentangan. Pertentangan kepentingan itulah yang menimbulkan perselisihan/persengketaan dan untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan untuk mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat, agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat. Dalam kaedah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikaian rupa, sehingga kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi. Apabila kaedah hukum itu dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman.
Dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana, penyelesaian suatu masalah pidana diputuskan melalui proses peradilan dari mulai proses penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded). Lamban dan buang waktu (waste of time). Biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically).3
Menurut Erman Rajagukguk, masyarakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa di luar pengadilan disebabkan karena tiga alasan, yaitu: Pertama, penyelesaian sengketa di pengadilan adalah terbuka, kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaikan tertutup, tanpa diketahui oleh public. Kedua, sebagian masyarakat, khususnya orang bisnis menganggap hakim tidak selalu ahli dalam permasalahan sengketa yang timbul. Dan yang Ketiga, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari pihak mana yang salah dan yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan dicapai melalui kompromi.
Menurut Gatot Soemartono ada beberapa cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan , yaitu:
1. Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut.
2. Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima kedua belah pihak.
3. Arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat boleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.
Negosiasi dapat merupakan salah satu penyelesaian sengketa alternatif yang menarik di Indonesia, karena azas musyawarah dan mufakat yang telah menjiwai bangsa kita. Negosiasi perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa tanpa ada penengah. Dalam proses negosiasi,negosiator perlu memahami tiga aspek dalam proses negosiasi yaitu : cultural, legal dan practical. Pertama, budaya antar bangsa berlainan dalammelihathukum peranan sarjana hukum, dan kontrak. Perbedaan budaya mencakup pula cara dan kebiasaan. Hukum bagi masyarakat Barat diartikan sebagai hak (rights). Masyarakat Amerika, umpamanya, dikatakan “very litigios”, hampir selalu menurut hak mereka melalui Pengadilan. Di masyarakat Timur, terutama yang mempunyai akar ajarab Confucius, hukum itu dianggap sebagai instrument untuk menjaga ketertiban (order). Mereka yang mengganggu ketertiban perlu dihukum. Hukum identik dengan hukuman, yang diputus oleh hakim di Pengadilan. Masyarakat yang litigious seperti Amerika Serikat, selalu membawa “lawyer” dalam proses negosiasi untuk merundingkan hak-hak dan kemudian kewajiban mereka. Ini berbeda dalam proses negosiasi dengan orang Cina, Jepang, Korea. Mereka akan bertanya, jika anda membawa lawyer, apakah anda mau berbisnis atau mencari-cari kesalahan. Ada perbedaan persepsi terhadap “lwayer” dalam masyarakat Amerika dan Jepang. Begitu pula ada perbedaan persepsi mengenai kontrak. Untuk orang Jepang kontrak adalah simbol kerjasama untuk saling menguntungkan dan bukan merupakan suatu dokumen hukum. Dalam berbisnis masyarakat Jepang menganggap “trust the people rather paper”. Dalam proses negosiasi, kedua belah pihak perlu memahami juga perbedaan budaya berkenaan dengan karakter dan kebiasaan masing-masing pihak. Orang Amerika cenderung berkata terus terang dan langsung, sedangkan orang Jepang biasa mengataka “ya” tidak selalu berarti “setuju”.
Aspek Kedua, adalah hukum, setiap negosiator mutlak memahami peraturan perundang-undangan berkenaan dengan sengketa yang coba untuk diselesaikan. Mungkin ada peraturan perundang-undangan yang merupakan “public policy”. Selanjutnya para negosiator perlu mengetahui instrumen hukum” yang dapat dipergunakan sebagai tanda tercapainya penyelesaian sengketa lainnya. Ketiga, aspek praktis, yaitu mutlak perlu bagi negosiator untuk menetapkan target maksimal dan minimal yang hendak dicapai dalam perundingan untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Tim negosiator, jika dipandang perlu, dilengkapi dengan staf yang mengerti masalah keuangan,produksi, atau pemasaran.
Tidak ada defenisi yang sederhana atau lebih luas mengenai negosiasi. Setiap keinginan yang menuntut kepuasan dan kebutuhan yang harus dipenuhi membuka kesempatan kepada orang untuk masuk dalam proses negosiasi. Bilamana seseorang bertukar ide dengan maksud mengubah hubungan, bilamana mereka berusaha untuk mencapai kesepakatan, mereka sedang bernegosiasi.
Mediasi juga merupakan salah satu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Ia bisa negara, Organisasi internasional (misalnya PBB) atau individu (politikus, ahli hukum, atau ilmuan). Ia ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.
Jika cara penyelesaian dengan menggunakan diatas gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lain seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase. Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sebagian besar pengusaha lebih suka menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui arbitrase daripada pengadilan. Biasanya arbiter pertama-tama membahas masalah yang timbul, berusaha mencapai konsesus. Jika usaha ini gagal, negosiasi diantara anggota panel biasanya melahirkan putusan yang kompromis. Tidak selalu harus melalui pemungutan suara.
Lembaga arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah yang melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya. Dengan perkataan lain, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa atau perselisihan bisnis dengan bantuan pihak ketiga, bukan hakim, walaupun dalam pelaksanaan putusannya harus dengan bantuan hakim. Apabila salah satu pihak kemudian enggan memberikan bantuannya untuk pengambilan keputusan atau tidak mentaati keputusan yang telah diambil oleh orang yang mereka berikan wewenang untuk sengketa tersebut, pihak itu dianggap melakukan breach of contract atau melanggar perjanjian.
Yang menjadi pertanyaan apakah penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut dapat diljadikan sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang masuk dalam lingkup hukum pidana?

II. PEMBAHASAN

Munculnya wacana penyelesaian kasus-kasus pidana di luar sidang pengadilan berangkat dari beberapa sebab, yaitu:
1. Adanya beberapa pelapor yang melaporkan kasus pidananya kepada pihak penyidik dengan tujuan supaya kerugian yang dia dapat dari kasus pidana tersebut dapat kembali, misalnya dalam kasus penipuan, penggelapan, penganiayaan dan sebagainya.
2. Diaturnya beberapa pasal pidana dalam undang-undang yang mengatur tentang hukum pidana sebagai delik aduan, dimana pelapor dapat mencabut laporan/pengaduannya apabila yang bersangkutan merasa tidak perlu laporan/pengaduan tersebut diproses lanjut, misalnya Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, beberapa UU HAKI, dan beberapa pasal dalam KUHP.
3. Adanya kecenderungan masyarakat merasa bahwa apabila suatu proses kasus pidana sudah terjadi kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, maka kasus tersebut dianggap selesai, karena masing-masing pihak sudah merasa memperoleh keadilan.
4. Adanya keengganan para penegak hukum, khususnya penyidik untuk menindaklanjuti kasus-kasus pidana yang sudah terjadi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai, dengan alasan bahwa kasus tersebut sudah dianggap selesai, untuk mengejar target penyelesaian perkara yang ditangani.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka ada beberapa faktor yang mendukung. Yang pertama adalah rasa keadilan dalam masyarakat, untuk sebagian masyarakat keadilan tidak berhubungan dengan hukum yang memiliki kekuatan yang tetap. Masyarakat merasa bahwa keadilan yang mereka inginkan tidak harus melalui suatu proses sidang pengadilan, yang dengan kata lain keadilan menurut hukum tidak selalu sama dengan keadilan dalam pandangan masyarakat.
Beberapa kasus pidana yang telah dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak penyidik, tidak selalu diharapkan oleh masyarakat diselesaikan melalui proses hukum sampai dengan sidang pengadilan. Sebagai contoh kita ambilkan dari laporan pengaduan masyarakat di salah satu Polsek di Pekanbaru tentang adanya dugaan kasus penggelapan dalam jabatan (pasal 374 KUHP), dalam laporannya tersebut, si pelapor telah menyisipkan pesan agar kasus pidana yang dilaporkannya tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan pada tahap penyidikan, sehingga tidak perlu dilanjutkan sampai ke tahap penuntutan dan pengadilan apabila sudah ada kesepakatan damai antara pihak pelapor dengan pihak yang dilaporkan.
Contoh kedua adanya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh seorang siswa SMU di Pekanbaru terhadap salah seorang temannya. Pada saat akan dilakukan upaya paksa terhadap si tersangka, pihak orang tua tersangka melakukan negosiasi dengan pihak orang tua pelapor agar kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cara damai. Kemudian kedua belah pihak melakukan upaya perdamaian dengan cara negosiasi, dan setelah ada kesepakatan damai mereka sepakat dan meminta kepada penyidik untuk tidak melanjutkan proses pidananya ke tahap penuntutan.
Faktor yang kedua adalah pandangan sebagian masyarakat yang menilai bahwa proses hukum yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian lebih efektif untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi, terutama dari pihak pelapor. Hal ini didukung dengan terkadang masih samarnya batas antara permasalahan pidana dengan perdata, dan adanya kasus pidana yang menyertai kasus perdata yang terjadi. Kewenangan upaya paksa yang dimiliki oleh penyidik dianggap oleh sebagian masyarakat efektif untuk menekan pihak yang bersengketa dengan mereka, sehingga dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Sebagai contoh seseorang melaporkan adanya dugaan kasus penipuan atau penggelapan, dimana orang tersebut terikat perjanjian dengan pihak lain untuk memberikan dana untuk pembangunan suatu kawasan perumahan dengan janji akan adanya provit atau keuntungan yang akan diperoleh dari kegiatan tersebut. Namun setelah kegiatan tersebut selesai ada sebagian hak yang seharusnya diterima oleh pelapor belum didapatnya, sehingga pelapor tersebut melaorkan kasusnya ke pihak penyidik. Oleh penyidik dilakukan proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang bersengketa tersebut dan pada saat proses pemeriksaan terjadi negosiasi antara kedua belah pihak serta dilibatkannya pihak penyidik sebagai mediator, dan kemudian akhirnya antara kedua belah pihak terjadi kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya tersebut.
Faktor yang ketiga adalah adanya kewenangan diskresi yang dimiliki oleh penyidik Polri. Kewenangan melakukan diskresi diatur dalam pasal 18 UU Polri yang berbunyi: “Untuk kepentingan umum, pejabat Polsi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Untuk melakukan diskresi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang petugas kepolisian, yaitu:
1. Tindakan harus benar-benar harus diperlukan atau asa keperluan.
2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran, yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan.
4. Asas keseimbangan.
Di dalam kekuasaan diskresi inilah penyidik diberi kebebasan menurut pertimbangannya, apakah Ia akan memeriksa seseorang, menahan, atau membebaskannya berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah diinterpretasikannya. Hal tersebut menyebabkan penyidik terkadang mempertimbangkan apakah suatu perkara pidana yang sedang disidiknya harus dilanjutkan atau tidak. Namun faktor ini, lebih cenderung dipengaruhi dari dua faktor di atas.
Berdasarkan ketiga faktor pendukung di atas, maka sebenarnya penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan sebenarnya terjadi di lapangan, khususnya pada tahap proses penyidikan. Penyelesaian sengketa pidana di luar sidang pengadilan tersebut terjadi melalui proses negosiasi dan mediasi. Negosiasi terjadi antara pihak pelapor dan pihak yang dilaporkan untuk mendapatkan kesepakatan damai, sedangkan mediasi biasanya melibatkan pihak penyidik sebagai mediator untuk menyelesaikan permasalahan pidana tersebut.
Keterlibatan penyidik atau Polri secara umum sebagai mediator sebenarnya tidak hanya dalam kasus-kasus pidana yang dilaporkan saja, namun terkadang sengketa-sengketa antara kelompok masyarakat dalam jumlah besar juga banyak melibatkan pihak kepolisian sebagai mediator. Hal tersebut dimungkionkan karena pihak kepolisian dianggap selain sebagai penegak hukum, juga bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memiliki fungsi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh Polri membawa opini dalam masyarakat, bahwa untuk mempercepat proses sengketa yang dihadapinya, baik pidana dan bahkan yang cenderung perdata, masyarakat lebih cenderung menggunakan jasa penyidik untuk dapat membantu menyelesaikan permasalahannya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat dalam kasus-kasus tertentu lebih suka permasalahannya dilaporkan ke pihak penyidik dengan tujuan dapat diselesaikan dengan cara kekieluargaan, dibandi8bngkan perkara tersebut harus dibawa sampai ke tingkat pengadilan baik itu secara pidana maupun perdata.

III. PENUTUP

Adanya praktek-praktek penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan, khususnya pada tahap penyidikan perlu kiranya disikapi secara bijak. Karena munculnya praktek tersebut disebabkan masyarakat sebagai pencari keadilan memandang bahwa keadilan yang mereka inginkan tidak harus selalu melalui sidang pengadilan.
Dalam kasus-kasus pidana tertentu, khususnya yang berkaitan dengan finansial sebagian masyarakat menganggap bahwa keadilan yang mereka inginkan adalah kembalinya nilai kerugian yang mereka dapat dari sengketa yang terjadi. Sehingga mereka melaporkan kasus mereka kepada pihak penyidik dengan harapan bahwa akan ada tekanan terhadap lawan mereka, sehingga akan ada proses negosiasi atau mediasi untuk penyelesaian sengketa yang mereka hadapi.
Rasa keadilan yang diharapkan masyarakat dan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik, jika tidak dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang jelas akan menyebabkan munculnya diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang oleh penyidik, yang dapat menimbulkan adanya korupsi. Hal ini disebabkan karena tingkat komitmen individu polisi terhadap moralitas, mempengaruhi pola-pola korupsi ditubuh kepolisian. Semakin kuat integritas moral petugas kepolisian, kian bersih ia melaksanakan tugasnya. Kalaupun ada kehendak memanfaatkan jabatan sesuai dengan diskresinya untuk memperoleh keuntungan secara pribadi, umumnya karena didesak oleh pihak-pihak dalam masyrakat yang tengah berurusan dengan jabatannya. Pejabat polisi semacam ini biasanya baru bersedia menerima sesuatu pemberian, apabila dinilai pemberian itu tidak melanggar terlalu jauh sumpah jabatan.
Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal tersebut perlu kiranya dibuat aturan-aturan hukum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa pidana yang berkaitan dengan finansial di luar sidang pengadilan, karena pada kenyataannya hal tersebut banyak ditemukan di lapangan, sehingga rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat tidak justru akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat yang lain.























DAFTAR PUSTAKA

ERMAN RAJAGUKGUK, “ Penyelesaian Sengketa Alternatif” Negosiasi-Mediasi-Konsiliasi-Arbitrase, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,Jakarta, 2005.

GATOT SOEMARTONO, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2006.

MOMO KELANA, Memahami Undang-Undang Kepolisian, PTIK Press, Jakarta, 2002.